Oleh: Chechilia A. Banjarnahor

Pada tahun 2023, pemimpin Gereja Katolik yaitu Paus Fransiskus mempunyai pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57 yaitu “Berbicara dengan Hati”. Jika kita artikan secara harafiah berbicara tentu menggunakan mulut. Akan tetapi bukan seperti itu arti dari Paus Fransiskus. Paus Fransiskus menggunakan bahasa kiasan, tetapi sangat mendalam kiasan dari “Berbicara dengan Hati”.

Setiap manusia dianugerahi oleh Alah dengan akal budi, kebebasan dan hati nurani. Hatilah yang mendorong kita untuk datang, melihat, dan mendengarkan. Hati juga yang menggerakkan kita untuk berkomunikasi secara terbuka serta ramah, ujar Paus Fransiskus.

Komunikasi yang ramah

Saat kita berkomunikasi tentu kita ingin berkomunikasi yang ramah, sehingga kita dapat nyaman dalam berkomunikasi. Berkomunikasi dengan ramah berarti siapa pun yang menjadi lawan bicara kita, dituntun untuk menyambut keterlibatan kita dalam kegembiraan, ketakutan, harapan, dan penderitaan manusia di zaman sekarang. Sama seperti apa yang dikatakan oleh Kitab Efesus 4:5 “Sekali kita mendengarkan orang lain dengan hati yang murni, kita juga akan mampu berbicara mengikuti kebenaran dalam kasih”.

Dalam dewasa ini, sering terjadi di dalam masyarakat di mana kebaikan bukan hanya masalah “etiket”, melainkan benar-benar menjadi penangkal yang sesungguhnya terhadap sesuatu yang dapat meracuni hati dan relasi manusia, yaitu kekejaman. Dalam dunia sekarang, di mana media sosial dapat digiring ke suatu arah, maka perlu membutuhkan kekuatan cinta yang lembut, agar komunikasi tidak menimbulkan iri hati yang menjengkelkan, memicu kemarahan yang mengarah pada konfrontasi, tetapi membantu orang untuk dengan tenang merefleksikan dan memaknai dengan kritis sekaligus penuh hormat terhadap realitas hidup mereka.

 

Komunikasi dari hati ke hati

Tentu dari kita bertanya-tanya, pasti sangat sulit untuk berkomunikasi dengan hati. Sebagai manusia biasa kita tentu banyak memiliki arahan daging ketimbang roh. Apalagi jikalau kita bertemu dengan orang yang tidak disukai untuk berkomunikasi. Ada satu pernyataannya yang paling terkenal “hati berbicara kepada hati” telah mengilhami banyak orang beriman, termasuk Santo John Henry Newman, yang menjadikannya sebagai moto hidup, “cor ad cor loquitur” (hati berbicara kepada hati). “Agar dapat berbicara dengan baik, cukuplah dengan mencintai secara baik” adalah salah satu keyakinannya. Baginya komunikasi tidak boleh direduksi menjadi suatu kepalsuan yang saat ini mungkin kita sebut sebagai strategi marketing komunikasi merupakan cerminan jiwa, permukaan dari inti cinta yang tidak terlihat oleh mata.

Bagi Santo Fransiskus de Sales melalui “mencintai dengan baik”. Santo Fransiskus de Sales mengingatkan bahwa “kita ini adalah apa yang kita komunikasikan”. Komunikasi sering dieksploitasi sehingga dunia melihat kita seperti yang kita inginkan, bukan siapa kita sebenarnya. Dalam dewasa ini, melihat dunia komunikasi, seperti dalam sebuah artikel, laporan, program televisi atau radio dan unggahan di media sosial. Semoga mereka yang bekerja di bidang sosial komunikasi terinspirasi oleh Santo Fransiskus de Sales, lemah lembut, mencari dan menyatakan kebenaran dengan berani dan bebas, serta menolak godaan untuk menggunakan ekspresi sensasional dan agresif.

Berbicara dengan hati dalam bersinode

Paus Fransiskus menekankan bahwa “Gereja juga ada kebutuhan besar untuk mendengarkan dan saling mendengarkan satu sama lain”. Maksud dan tujuan Bapa Paus adalah mendengarkan tanpa prasangka, penuh perhatian dan terbuka, menghadirkan pembicaraan menurut gaya Tuhan, sambil memupuk keakraban, bela rasa, dan kelembutan. Hal inilah yang menjadikan komunikasi rendah hati.

Sering kali kita memotong pembicaraan dan tidak mau tahu perspektif orang lain, terkadang juga kita merasa paling benar akan sesuatu topik. Hal inilah yang disebut dengan kesombongan dan melawan sikap kerendahan hati. Komunikasi rendah hati adalah komunikasi yang mengobarkan hati, yang menyembuhkan luka, dan yang menyinari perjalanan saudara-saudari kita.

Seperti pesan dari kitab Mazmur 34:14 “Kita semua dipanggil untuk mencari, mewartakan, dan menghidupi kebenaran dengan kasih. Secara khusus, kita sebagai umat Kristiani didesak terus-menerus untuk menjaga lidah dari yang jahat”. Maka dari itu sudah seharusnya kita sebagai anak Allah mendengarkan seseorang berbicara tanpa memotong pembicaraan, mendengarkan dan menghargai orang yang berbicara.

Membersihkan jiwa-jiwa dengan mempromosikan bahasa damai

Paus Fransiskus menyadari bahwa masih banyak kebiasaan kita ketika dalam berbicara dengan cara “mendiskreditkan dan menghina lawan sejak awal, alih-alih membuka dialog yang saling menghormati”. Dalam Ensiklik Pacem in Terris (Damai di Bumi), “Perdamaian sejati hanya dapat dibangun dengan saling percaya” (art. 113). Sebuah kepercayaan membutuhkan komunikator yang terbuka, berani, dan kreatif, serta siap mengambil risiko untuk menemukan titik perjumpaan.

Peperangan ini adalah sebuah virus yang harus dibasmi secara seluruh dunia dan menyatakan akan melawan virus peperangan ini. Peperangan bisa terjadi karena ada tujuan, ideologi, ekonomi dan sebagainya. Tetapi kita semua mengetahui, awal mulanya peperangan adalah dalam hati manusia itu sendiri. Dari hati itulah keluar perkataan yang benar untuk menghilangkan bayang-bayang dunia yang tertutup dan terpecah, juga membangun peradaban yang lebih baik dari yang telah kita terima sebelumnya.

Perdamaian bisa ditempuh melalui komunikasi. Setiap bentuk komunikasi yang membantu menciptakan kondisi untuk menyelesaikan perselisihan antarbangsa, harus dipromosikan. Setiap orang diminta untuk terlibat dalam upaya ini, tetapi mereka yang berkarya di bidang komunikasi diharapkan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar dan menjalankan profesinya sebagai sebuah tugas perutusan.

Semoga Tuhan Yesus, Sabda Kebenaran dan Kasih, membantu kita untuk membicarakan kebenaran dalam cinta kasih, supaya kita dapat merasa seperti menjadi penjaga satu sama lain. “Lidah lembut mematahkan tulang,” Kitab Amsal (25: 15)